BdBK-09


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 9

kembali | lanjut

BdBK-09DI ANTARAmereka adalah Pangeran Ranakusuma. Bukan saja karena ia menerima langsung berbagai macam hadiah, tetapi ia juga ingin mendapat pengaruh lebih banyak lagi di dalam istana Susuhunan. Selain kepentingan langsung itu, isterinya pun telah mendorongnya pula agar ia tidak menjauhkan diri dari lingkungan orang-orang asing yang baik hati, murah hati dan menyenangkan itu.

Sejalan dengan perkembangan itu, hati Raden Rudira pun menjadi semakin berkembang pula. Keinginannya untuk mengetahui, apa saja yang dilakukan ibunya di dalam lingkungan orang-orang asing itu tanpa ayahnya, selalu mendesaknya, sehingga kadang-kadang ia hampir tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.

“Jangan bermain api Raden” Mandra mencoba mencegahnya.

“Aku tidak tahan lagi Mandra. Rasa-rasanya aku selalu digelitik oleh perasaanku sendiri. Terus-terang aku menjadi curiga”

“Apa yang Raden curigai?”

Raden Rudira tidak menjawab. Ia tahu bahwa sebenarnya Mandra sudah mengerti perasaannya.

“Jangan tergesa-gesa” berkata Mandra kemudian, “meskipun pada akhirnya rencana Raden itu dilakukan, tetapi Raden harus mengingat, bahwa perbuatan itu penuh dengan bahaya. Setiap kali diadakan pertemuan bagi kumpeni di rumah bangsawan yang manapun, penjagaan di sekitar halaman itu diperkuat. Apalagi mereka mempunyai senjata-senjata yang dapat melontarkan sebutir besi dan yang langsung dapat membunuh korbannya”

“Aku tidak takut akan senjata api itu”

“Memang kita tidak takut. Tetapi usaha kita gagal dan kita justru terbunuh oleh senjata api itu, maka bukankah dengan demikian tidak ada gunanya, apapun yang pernah kita lakukan?”

Raden Rudira mengangguk-angguk.

“Jika Raden memang berkeinginan untuk melakukannya, sebaiknya Raden memberitahukan kepadaku. Aku akan menyelidiki dahulu kemungkinan yang sebaiknya Raden lakukan. Malam nanti Raden Ayu mendapat undangan pula dari seorang perwira kumpeni. Bukankah begitu?”

“Ya, dan ayahanda malam ini tidak dapat pergi mengantarkan ibunda karena ayahanda mendapat undangan tersendiri ke istana Susuhunan”

“Tetapi sebaiknya Raden tidak bertindak malam ini. Undangan semacam itu masih akan berdatangan. Tentu tidak sampai tiga hari lagi”

“Belum tentu Mandra. Mungkin di hari mendatang, ayahanda dapat pergi bersama ibunda. Karena itu, apa salahnya jika malam ini aku mencoba melihat apa yang terjadi. Jika aku gagal, barulah aku akan menentukan hari-hari berikutnya sehingga aku akhirnya yakin apa yang dilakukan ibunda itu. Dengan demikian hatiku akan menjadi tenteram”

Mandra merenung sejenak. Dipandanginya wajah Rudira yang tegang. Namun orang yang bertubuh raksasa seperti Sura itu kemudian tersenyum, “Baiklah Raden. Jika Raden tetap pada pendirian Raden apaboleh buat. Biarlah aku pergi lebih dahulu ke tempat bujana itu akan diadakan. Apakah Raden mengetahuinya?”

“Ya. Aku mengetahuinya. Di rumah pamanda Surawijaya,” Mandra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu. Istananya berada di sebelah simpang tiga dengan pohon Kayu Legi yang terjajar tiga di halaman samping?”

“Ya”

“Baiklah Raden. Jika memang Raden kehendaki, aku akan pergi ke istana Surawijayan. Aku mempunyai seorang kawan yang baik mengabdikan diri pada di Surawijayan. Barangkali aku dapat menghubunginya dan mendapatkan kesempatan untuk memasuki halaman istana itu malam nanti untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi”

“Baiklah. Pergilah. Tetapi hati-hati, jangan sampai rencana ini diketahui oleh siapapun. Jika demikian maka ibunda akan mengurungkan niatnya, atau kumpeni akan memasang penjagaan yang kuat. Tentu orang-orang kita juga yang akan berjaga-jaga di luar istana Surawijayan, sedang kumpeni akan makan minum dengan sepuas-puasnya”

Mandra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku minta diri Raden. Selagi masih jauh waktunya, sehingga orang-orang di istana itu, atau barangkali pengawas-pengawas yang sudah dipersiapkan tidak mencurigai aku”

“Pergilah”

Rudira pun kemudian memberikan bekal uang kepada Mandra seperti yang biasa dilakukannya apabila ia memberikan tugas yang agak menyimpang dari tugasnya sehari-hari. Apalagi tugas ini termasuk tugas yang cukup berbahaya.

Sepeninggal Mandra, Rudira selalu duduk merenung. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kecurigaan terhadap ibunya. Semakin lama semakin dalam. Sebagai satu-satunya anak laki-laki yang manja, ia benar-benar tidak mau melepaskan kasih sayang ibunya dan membaginya dengan orang lain. Bagi Rudira, perkawinan ayah dan ibunya adalah ikatan yang paling luhur di dalam hidup kekeluargaan. Setelah isteri ayahandanya semuanya tersisih dari istana itu, meninggal atau kembali ke orang tuanya, maka ibunyalah satu-satunya orang yang berhak sepenuhnya atas istana Ranakusuman di samping ayahandanya. Setelah ayahandanya menyisihkan orang-orang yang dapat mengurangi kasih sayangnya kepada isteri yang tinggal satu-satunya, maka ibundanya pun tidak boleh menodai kasih dan cinta itu. Umur Rudira yang menginjak dewasa itu, memandang cinta antara laki-laki dan perempuan sebagai cinta yang paling suci dan sama sekali tidak boleh dinodai.

Dengan demikian maka keinginannya untuk mengetahui apa saja yang telah dilakukan ibunya itu pun menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, sepeninggal Mandra, dari balik dinding yang menyekat ruangan pembicaraan antara Mandra dan Rudira seseorang perlahan-lahan sambil berjingkat, meninggalkan tempatnya setelah ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan-pembicaraan itu. Pembicaraan yang sangat mendebarkan jantungnya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, ketika ia sudah berada di tempat yang terpisah oleh gandok sebelah kanan, orang itu mengangguk-angguk.

Orang itu adalah Dipanala, yang masih saja berada di istana itu dengan berbagai macam akibat yang dapat terjadi atasnya. Dengan sadar Dipanala melihat kemungkinan-kemungkinan itu. Dari yang paling ringan sampai yang paling pahit baginya, mati. Tetapi ia masih belum berniat meninggalkan istana Ranakusuman.

Ternyata percakapan yang didengarnya tanpa sengaja itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Bahkan tanpa disadarinya ia bergumam, “Raden Rudira tidak tahu bencana apa saja yang dapat menimpanya. Untuk mendekati lingkungan itu adalah sangat berbahaya sekali meskipun Mandra akan berusaha menemukan jalan”

Tetapi tiba-tiba saja melonjak perasaan sakit hati di dalam dadanya, “Aku tidak peduli. Aku tidak berkepentingan apa-apa. Biar saja apa yang akan terjadi pada keduanya. Justru keduanya pernah mencoba membunuh aku. Dan tentu niat itu sampai saat ini masih tersimpan di dalam hati, karena niat itu bersumber dari ibundanya dan barangkali sebentar lagi dari kedua-duanya, dari ibunda dan ayahandanya”

Dipanala pun kemudian mencoba melupakan, apa yang akan dilakukan oleh keduanya. Ia pun segera pergi ke belakang, ke kandang kuda. Dibersihkannya beberapa ekor kuda yang ada di dalam kandang itu bersama juru pemelihara kuda. Para pekatik dan gamel itu kadang-kadang merasa heran juga, bahwa Ki Dipanala semakin sering bekerja di kandang kuda. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa Dipanala di istana Ranakusuman itu seolah-olah sudah tidak mempunyai kerjaan lain yang pasti, kecuali kadang-kadang ia mendapat perintah dan Pangeran Ranakusuma untuk menyampaikan pesan kepada orang-orang yang dekat dengannya.

Namun Dipanala yang keras hati itu tetap tidak meninggalkan istana Ranakusuman. Ia sadar, bahwa jika ia pergi, maka umurnya pun tidak akan dapat bertahan, karena baik Pangeran Ranakusuma maupun Raden Ayu Ranakusuma akan memerintahkan orang-orang upahan untuk membunuhnya agar ia tidak membuka rahasia mereka masing-masing.

Dengan demikian maka kemungkinan baginya hampir tidak ada bedanya. Meninggalkan istana atau tetap tinggal. Namun yang sedang dipikirkannya adalah bagaimana ia dapat menyingkir bersama keluarganya dan bergabung dalam suatu kelompok kekuatan yang dapat melindunginya dan terutama yang mempunyai sikap yang pasti terhadap orang-orang asing yang semakin lama menjadi semakin berkuasa di Surakarta, dan dengan demikian mereka semakin leluasa menyebarkan racun perpecahan untuk memperkuat kedudukan mereka.

Bagi Dipanala, tempat yang paling baik baginya adalah Padepokan Jati Aking. Namun di sana ada Raden Juwiring, sehingga hubungan antara istana ini dan padepokan Jati Aking tampaknya masih terlampau dekat.

Tetapi Dipanala tidak begitu terpancang kepada usahanya itu. Sebenarnyalah bahwa ia memang harus berusaha menyelamat-kan diri. Tetapi jika maut memang sudah waktunya menjemput-nya, ia tidak akan ingkar lagi, dengan suatu permohonan, mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi keluarganya dari malapetaka.

Namun sehari-harian itu Dipanala selalu saja digelisahkan oleh rencana Raden Rudira. Setiap kali ia berusaha melupakan rencana itu, karena ia memang tidak berkepentingan. Ia tidak ingin ikut campur sehingga ia akan tersudut semakin jauh. Semakin banyak rahasia yang diketahuinya, sengaja atau tidak sengaja, maka semakin sulitlah perasaannya dan bahkan semakin sempitlah ruang yang dapat dihuninya untuk mempertahankan hidupnya.

Aku tidak ingin menjadi korban dari rahasia orang-orang lain. Biar saja Raden Rudira mengetahui rahasia ibunya. Biar saja Raden Rudira melihat kenyataan bahwa ibunya sama sekali bukan seorang perempuan bangsawan yang terhormat seperti yang diduganya. Juga ayahandanya bukan seorang laki-laki yang baik apalagi sebagai seorang Pangeran. Bilamana dikehendaki ia dapat mengambil beberapa orang isteri, tetapi tidak meloncati pagar ayu, menodai cinta kasih seorang perempuan yang bersuami” berkata Dipanala di dalam hatinya.

Tetapi ketika kemudian ia melihat sebuah kereta memasuki halaman istana Pangeran Ranakusuma menjelang senja, maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa Raden Rudira pun sudah menyiapkan kudanya meskipun Mandra masih belum datang menemuinya.

Bagaimanapun juga ia berusaha, namun Ki Dipanala tidak dapat menutup mata, bahwa ia melihat Pangeran Ranakusuma telah berangkat lebih dahulu ke istana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana, kemudian disusul oleh Raden Ayu Ranakusuma mengenakan pakaian yang cemerlang, dengan perhiasan yang berkilauan seperti bintang yang gemerlapan di langit.

Dipanala yang berada di longkangan belakang menarik nafas dalam-dalam. Belum lagi debar jantungnya mereda, dilihatnya Mandra dengan tergesa-gesa menemui Raden Rudira di depan gedogan kuda.

“Semuanya sudah beres. Kita dapat berangkat apabila gelap telah menyeluruh”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya, “Apakah kau baru datang?”

“Ya Raden”

“Lama sekali?”

“Aku berusaha menyelesaikan semuanya. Dengan demikian maka kita tidak akan berbuat dua kali”

Rudira yang kemudian melihat Dipanala berhenti sejenak. Meskipun Dipanala tampaknya tidak menghiraukannya, namun Rudira pun kemudian membawa Mandra pergi.

“Persetan” Dipanala merasa bahwa dirinya dicurigai oleh Rudira, “Aku tidak peduli. Aku tidak peduli”

Ingin rasanya Dipanala itu menjerit. Seandainya ia seorang anak-anak yang masih pantas berteriak keras-keras, maka ia pun akan berteriak keras-keras pula.

Meskipun Dipanala tidak mendengar pembicaraan antara Rudira dan Mandra, namun ia sudah dapat menangkap maksudnya, karena ia pun mendengar pembicaraan sebelumnya.

“Aku tidak mau tahu” Ki Dipanala menggeram.

Rudira yang kemudian berbicara sambil berbisik-bisik dengan Mandra pun telah menetapkan rencana mereka. Mereka benar-benar akan pergi ke istana Pangeran Surawijaya untuk melihat sendiri, apa yang telah terjadi di dalam bujana makan dan minum yang diselenggarakan oleh beberapa orang perwira Kumpeni.

Dipanala yang kemudian meninggalkan longkangan, karena ia tidak mau mengetahui rahasia itu lebih banyak, duduk di serambi gandok seorang diri. Ia melihat beberapa orang penjaga regol yang sedang berganti tugas.

Dalam kesibukan para pengawal di senja hari itu, Dipanala justru merasa hatinya terlalu sepi. Ia merasa bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dikerjakan. Apapun yang dilakukan rasa-rasanya tidak akan bermanfaat sama sekali. Bahkan berbuat baik pun agaknya tidak akan menguntungkannya. Seandainya ia mencoba mencegah Rudira, karena yang akan dilakukannya itu benar-benar berbahaya, tentu anak muda itu akan salah paham. Dan ia akan dianggap sebagai seseorang yang lelah mengetahui rahasianya pula.

“Lebih baik aku pulang” berkata Dipanala kepada diri sendiri, “Lebih baik bermain-main dengan anak-anak. Jika orang-orang di istana ini memerlukan aku, mereka akan memanggil. Apalagi Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu tidak ada di rumah. Tentu tidak akan ada orang yang memerlukan aku”

Tetapi ketika ia sedang berdiri, ia terkejut mendengar derap dua ekor kuda dari halaman belakang. Hampir di luar sadarnya ia melekatkan tubuhnya pada dinding gandok dan bergeser di belakang tiang sehingga terlindung dari cahaya obor yang sudah dinyalakan, karena bayangan tiang itu.

Dengan hati yang berdebar-debar ia melihat Raden Rudira dan Mandra yang berada di atas punggung kuda keluar dari halaman istana Ranakusuman.

Sejenak Dipanala seakan-akan membeku Di tempatnya. Keragu-raguan yang dalam telah menghentak-hentak di dadanya. Namun sekali lagi ia menggeram, “Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku tidak berkepentingan sama sekali”

Ketika suara derap kaki-kaki kuda itu lenyap, maka Dipanala pun kemudian meninggalkan tempatnya. Di halaman samping ia berpapasan dengan seorang pelayan yang baru keluar dari dalam istana. Katanya, “Istana rasa-rasanya menjadi sangat sepi”

“Tentu” sahut Ki Dipanala, “semuanya telah pergi. Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu dan Raden Rudira” jawab Ki Dipanala.

“Berulang kali hal serupa itu terjadi. Tetapi rasa-rasanya tidak seperti malam ini”

“Kenapa?” bertanya Ki Dipanala kemudian.

“Lampu di ruang tengah itu seakan-akan tidak mau menyala dengan terang. Meskipun sumbunya telah aku panjangkan, namun nyalanya itu bagaikan pelita yang kehabisan minyak saja”

“Tentu minyaknya lah yang kurang bersih”

“Minyaknya adalah minyak yang setiap kali aku pergunakan”

“Tentu pada suatu ketika minyak itu habis, dan minyak yang baru itu tidak sebaik minyak yang lama”

“Tidak. Aku sudah mempergunakan minyak ini selama tiga malam berturut-turut”

Ki Dipanala tidak menjawab lagi. Tetapi ketika ia menengok ruang dalam lewat pintu butulan, rasa-rasanya ruangan itu memang sepi dan bersuasana lain.

“Marilah kita lihat” berkata Ki Dipanala kepada pelayan itu.

Keduanya pun kemudian memasuki ruang dalam istana Ranakusuman. Mereka memang merasakan suasana yang lain. Lampu minyak yang biasanya terang benderang, rasa-rasanya memang menjadi suram. Bukan saja lampu di ruang tengah. Bahkan ketika keduanya memasuki bilik Raden Ayu Ranakusuma, terasa seakan-akan tengkuk mereka telah dihembus perlahan-lahan sehingga seluruh bulu kulit mereka berdiri.

Dipanala bukan seorang penakut. Yang terjadi baginya seakan-akan sekedar suatu kebetulan saja. Namun demikian ia tidak dapat ingkar, bahwa hatinya telah diusik oleh kegelisahan, seakan-akan yang terjadi itu adalah suatu isyarat. Tetapi karena kebodohannya, maka ia tidak dapat mengurai apakah yang sebenarnya akan terjadi.

Sekali lagi pelayan itu mencoba menarik sumbu lampu-lampu minyak di ruang dalam, namun cahayanya bagaikan tetap redup.

Tiba-tiba saja Dipanala tersenyum sambil berkata, “Ada yang kau lupakan”

“Apa Ki Dipanala?”

“Lihatlah, lampu di pendapa masih menyala terlampau terang Agaknya masih belum kau susut sama sekali”

“Masih terlampau sore”

“Maksudku, justru karena lampu di pendapa itu terlampau terang, maka lampu di dalam ruangan ini tampaknya sangat redup. Cobalah, susut sedikit lampu di pendapa itu”

“Apakah begitu?”

“Cobalah. Nanti dibesarkan lagi”

Pelayan itu pun kemudian pergi ke pendapa. Disusutnya lampu yang menyala terang sekali, sehingga cahayanya menjadi redup. Dengan demikian, ketika ia masuk ke ruang dalam, maka lampu-lampu di ruang dalam itu rasa-rasanya menjadi bertambah terang.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kau benar Ki Dipanala”

“Nah, sekarang, tariklah sumbu lampu di pendapa itu, supaya istana ini tidak kelihatan redup”

Pelayan itu kembali lagi ke pendapa, dan dibesarkannya nyala lampu yang tergantung di tengah-tengah pendapa yang besar dan dihiasi dengan Barang-barang yang cukup baik dan mahal, yang sebagian diterimanya sebagai hadiah dari perwira-perwira kumpeni.

Tetapi belum lagi pelayan itu masuk, seorang peronda mendekatinya sampai di tangga pendapa sambil bertanya, “He. kenapa kau bermain-main dengan lampu minyak itu?”

Pelayan itu hanya menggelengkan kepalanya saja.

Peronda itu pun tidak bertanya lagi. Dengan dahi yang berkerut-merut ia melangkah kembali ke gardu di regol depan.

Namun dalam pada itu, meskipun pelayan itu agaknya mencoba mengerti keterangan Ki Dipanala, bahwa ruangan-ruangan di dalam istana itu tampaknya redup karena justru lampu di pendapa terlampau terang, namun bagi Dipanala sendiri ada sesuatu yang masih tetap mengganggu, justru karena ia tahu, kemana Raden Rudira pergi.

Karena itulah, maka hatinya masih tetap tidak tenang. Apalagi ketika terasa sesuatu yang aneh menyentuh perasaannya ketika ia berada di dalam bilik Raden Ayu Ranakusuma dan Raden Rudira yang terasa sangat sepi, sesepi kuburan. Yang tampak hanyalah alat-alat rumah tangga yang berdiri tegak dan kaku. Geledeg kayu berukir, pembaringan yang bersih dialasi dengan kain yang mengkilap, serta sebuah kaca yang besar, yang diterima juga sebagai hadiah dari orang-orang asing itu, dengan berbagai macam benda yang lain yang sangat mengagumkan. Namun semuanya itu bagaikan perlambang dari hati Raden Ayu Ranakusuma yang mati seperti benda-benda itu. Tidak berperasaan.

Tetapi Ki Dipanala tidak mengatakan sesuatu kepada pelayan yang masih berdiri di sisinya. Bahkan perlahan-lahan pelayan itu berkata kepadanya, “Bilik ini pada suatu saat tentu akan penuh sesak dengan hadiah-hadiah yang setiap saat diterimanya”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah. Bukankah kau hanya mempersoalkan nyala lampu yang redup itu?”

Pelayan itu menganggukkan kepalanya.

“Dan bukankah kau sudah mengetahui sebabnya?” Sekali lagi pelayan itu mengangguk.

“Jika demikian, aku akan keluar dan pulang, menengok anak-anak di rumah”

“Silahkan Ki Dipanala” berkata pelayan itu.

Ki Dipanala pun kemudian meninggalkan pelayan itu di tangga pintu butulan. Dengan langkah yang lamban, Dipanala berjalan menuju ke butulan dinding halaman di belakang, yang langsung menuju ke halaman rumahnya yang terletak di balik dinding halaman itu.

Namun hatinya masih saja dipengaruhi oleh kepergian Raden Rudira. Setiap kali ia mencoba mengusir perasaannya itu, namun setiap kali pula ia menjadi berdebar-debar.

Ketika Dipanala sudah berada di luar halaman, dan sudah menutup pintu itu kembali, hatinya menjadi semakin ragu-ragu. Karena itulah maka ia pun mengurungkan niatnya untuk memasuki rumahnya yang sudah tertutup. Bahkan ia pun pergi ke kandang kuda dan dengan hati-hati membenahi pakaian kudanya dan menuntunnya keluar perlahan-lahan, agar tidak mengejutkan isi rumahnya.

Sejenak kemudian Ki Dipanala pun sudah berpacu di jalan yang sudah menjadi sepi karena malam yang semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin gelap, meskipun di langit bintang-bintang bercahaya dengan cerah.

Kegelisahan di hati Ki Dipanala ternyata telah mendorongnya untuk berpacu lebih cepat. Ia pun tahu benar, bahwa malam itu Raden Ayu Galihwarit sedang mengadakan bujana makan dan minum tanpa batas di rumah Pangeran Surawijaya.

Tetapi ia tidak mau terlibat terlampau jauh. Sebenarnya ia hanya ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi di rumah Pangeran itu, jika Raden Rudira mengetahui apa yang dilakukan oleh ibundanya.

Karena itu, ia tidak langsung mendekati istana itu. Diikatnya kudanya agak jauh dari istana Pangeran Surawijaya. Kemudian untuk beberapa lamanya ia menunggu di dalam kegelapan sebelum ia pergi mendekati halaman yang luas dan berdinding tinggi.

Tetapi pepohonan di luar dinding memberi kesempatan kepadanya untuk melihat apa yang ada di dalam, karena dahan-dahannya yang menjulang melampaui tinggi dinding halaman itu.

Sejenak Ki Dipanala menunggu. Ia menduga, bahwa Raden Rudira pun pasti sedang menunggu. Tetapi ia tidak tahu, dimana anak muda itu bersembunyi bersama Mandra.

Karena itu maka Ki Dipanala harus berhati-hati. Ia harus menghindarkan diri dari anak muda itu, agar ia tidak menambah kesulitan bagi dirinya sendiri karena ia mengetahui pula rahasianya disamping rahasia ayah dan ibundanya.

Betapa dada Ki Dipanala menghentak-hentak ketika ia mendengar gelak tertawa di pendapa istana yang dihiasi dengan lampu yang terang benderang. Gelak tertawa orang-orang asing yang diseling dengan suara tertawa dalam nada tinggi. Suara isteri para bangsawan yang keriangan pula di dalam bujana itu. Apalagi mereka masih mengharap bermacam-macam hadiah dari orang-orang asing itu. Hadiah yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya, karena hadiah itu adalah benda-benda yang mereka bawa dari negeri mereka.

Ki Dipanala yang menunggu di luar dinding menjadi pening. Suara tertawa itu dapat membuatnya menjadi gila. Karena itu, maka akan lebih baik baginya untuk melihat apa yang terjadi dari pada sekedar mendengar suaranya. Sebab dengan demikian ia dapat membayangkan apa saja menurut angan-angannya terjadi di balik dinding itu. Tetapi jika ia melihatnya, maka ia akan segera dibatasi oleh penglihatannya, meskipun yang dilihatnya itu mungkin juga sangat memuakkannya.

Seperti anak-anak ingin melihat adu ayam di arena yang penuh, maka Ki Dipanala pun kemudian memanjat sebatang pohon di luar dinding. Dengan hati yang berdebar-debar ia menjengukkan kepalanya dari balik dedaunan yang rimbun.

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ternyata memang yang dibayangkan jauh lebih menggetarkan dadanya dari yang terjadi. Ternyata mereka hanya sekedar duduk berkeliling pendapa sambil berbicara, meskipun betapa riuhnya. Justru orang-orang asing yang belum menguasai bahasa Jawa, dan mencoba mempergunakannya itulah yang dapat menimbulkan gelak yang sangat riuh.

Dipanala meraba keningnya. Tetapi ia tetap duduk di atas dahan. Bahkan kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Mudah-mudahan tetap seperti itu saja, seperti yang sering dilakukan di rumah Pangeran Ranakusuma. Sekedar makan dan minum”

Dan ternyata bahwa Ki Dipanala tidak melihat sesuatu yang dapat menggetarkan hatinya, dan sudah barang tentu hati Raden Rudira. Ia melihat juga Raden Ayu Galihwarit duduk di antara beberapa orang puteri bangsawan. Dan Raden Ayu Galihwarit yang berpakaian cemerlang itu pun tidak berbuat apa-apa selain tertawa dan kadang-kadang sampai terguncang-guncang.

Sejenak kemudian orang-orang di pendapa itu pun dijamu makan yang bagi Dipanala, melampaui setiap batas keinginan-nya. Bermacam-macam jenis lauk pauk telah terhidang. Bahkan di antaranya adalah jenis lauk pauk yang belum pernah dilihatnya, yang mungkin disesuaikan dengan cara makan orang-orang asing itu.

Tetapi acara makan itu pun tidak menarik perhatiannya. Bahkan Dipanala pun mulai jemu duduk di atas dahan itu. Tetapi ia masih juga ingin tahu kesudahan dari pertemuan yang demikian.

“Apakah seperti yang sering terjadi di istana Pangeran Ranakusuma, atau masih ada acara-cara lain yang dapat membakar hati Raden Rudira?” bertanya Ki Dipanala di dalam hatinya.

Namun sejenak kemudian, ternyata pertemuan itu berakhir. Beberapa orang bangsawan dan orang asing itu minta diri dan meninggalkan istana Surawijayan.

Ki Dipanala menarik nafas lega. Jika Raden Ayu Galihwarit pun kemudian pulang ke istana Ranakusuman, maka tidak akan timbul persoalan yang dapat mendebarkan jantungnya. Raden Rudira yang tentu juga telah mengintip, pasti akan segera pulang tanpa terjadi sesuatu.

Tetapi tiba-tiba alis Ki Dipanala berkerut. Dilihatnya pendapa itu semakin lama menjadi semakin sepi. Namun Raden Ayu Galihwarit masih belum minta diri untuk meninggalkan pendapa itu.

Dada Ki Dipanala mulai berdebar-debar. Karena itu, maka ia justru memperhatikan pendapa itu lebih tajam lagi. Hatinya yang semula mulai tenang, kini telah bergejolak kembali.

Dan rasa-rasanya kegelisahannya tidak lagi dapat ditahankannya di dalam dadanya, ketika bangsawan yang terakhir meninggalkan pendapa itu.

“Apakah yang akan terjadi?” Ki Dipanala menjadi semakin berdebar-debar.

Namun sekali lagi ia harus menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit pun kemudian minta diri pula. Seperti biasanya, maka sebuah kereta sudah siap untuk mengantarkannya.

“Hem” Ki Dipanala berdesah, “Aku terlampau berprasangka. Ternyata Raden Ayu Galihwarit pun segera pula sebelum malam menjadi semakin jauh”

Karena itu maka Dipanala pun segera turun dari dahan di luar dinding halaman. Namun ada sesuatu yang tidak mapan di dalam hatinya. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengikuti kereta Raden Ayu Galihwarit itu. Bagaimanapun juga ia mencoba mencegah keinginannya itu, namun Ki Dipanala tidak berhasil.

Dengan demikian maka ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke kudanya. Hatinya sendiri telah memaksanya untuk kemudian dari jarak yang agak jauh mengikuti sebuah kereta yang meninggalkan regol istana Pangeran Surawijaya.

“Agaknya hatiku memang ditumbuhi rambut jagung” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya, “Akulah yang berpikir jelek”

Tetapi Dipanala masih tetap mengikuti kereta itu di dalam keremangan malam di jalan raya kota Surakarta. Namun ia harus berhati-hati. Jika Raden Ayu Galihwarit mengetahui bahwa ia mengikutinya, maka nafsunya untuk membunuh pasti akan menjadi semakin besar.

Sejenak Ki Dipanala hanya melihat kesepian. Kota yang ramai di siang hari itu bagaikan sudah tidur nyenyak. Sinar lampu minyak masih tampak berpencaran di beberapa buah rumah di pinggir jalan. Tetapi rumah-rumah yang lain tampaknya sudah menjadi gelap seperti tidak berpenghuni.

Namun terasa dada Ki Dipanala berdesir ketika matanya yang tajam menangkap bayangan sesuatu di pinggir jalan di hadapan-nya, bahkan di hadapan kereta Raden Ayu Galihwarit. Bayangan itu adalah bayangan sebuah kereta pula, seperti kereta yang dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit.

Ki Dipanala benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia pun segera meloncat turun dan mengikat kudanya Di tempat yang agak jauh dan terlindung. Namun ia tidak segera tahu, apa yang harus dilakukan.

Ki Dipanala hanya dapat mengawasi kereta Raden Ayu Galihwarit yang juga berhenti. Dengan hati-hati Dipanala merayap mendekat di luar sadarnya. Seakan-akan ia dengan bernafsu sekali ingin mengetahui apa yang telah terjadi.

Terasa dada Ki Dipanala terguncang. Ia melihat seorang perwira berkulit putih turun dari kereta yang semula berhenti, kemudian meloncat naik ke kereta yang lain, yang ditumpangi oleh Raden Ayu Galihwarit.

“Gila, Gila” terasa dada Dipanala bergejolak. Wajahnya menjadi panas dan tangannya bagaikan ingin meremas kepala orang asing itu. Juga di luar sadarnya, Ki Dipanala meraba hulu kerisnya.

Tetapi tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Bahkan kemudian dengan geram ia berkata di dalam hatinya, “O, apakah aku akan melibatkan diri dalam kesulitan yang lebih dalam? Ketika aku tanpa sengaja menjumpai peristiwa yang hampir sama, maka maut sudah mulai meraba tengkukku. Apalagi jika aku sekarang mengulanginya. Maka aku rasa umurku tidak akan bertahan sampai sepekan”

Ki Dipanala menahan gejolak di dadanya dengan telapak tangannya.

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Ternyata yang telah terjadi itu tidak membuat Raden Ayu Galihwarit menjadi jera. Kemaksiatan itu masih juga diulanginya, tanpa menghiraukan kemungkinan yang dapat terjadi, “

Namun dada Ki Dipanala tiba-tiba berguncang ketika ia teringat kepada Raden Rudira. Jika anak itu mengetahui apa yang terjadi, tentu ia tidak akan dapat menahan hatinya lagi. Apalagi jika Raden Rudira sempat mengikuti kemana kereta ini akan pergi dan apa yang akan dilakukan oleh Raden Ayu Galihwarit selanjutnya.

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli” Ki Dipanala menggeram di dalam dadanya.

Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah surut, la tidak akan ikut mencampuri persoalan itu, agar ia tidak semakin tersudut di dalam kesulitan. Ia masih mempunyai keluarga yang harus mendapat perlindungannya.

“Jika aku mati karena aku mempertahankan harga diri tanah ini, apaboleh buat. Tetapi alangkah nistanya mati tanpa arti dibunuh oleh Mandra dan kawan-kawannya” Ki Dipanala mengeluh di dalam hati.

Tetapi niatnya diurungkannya ketika ia mendengar desir di tikungan. Ketika dari celah-celah dedaunan ia melihat di dalam keremangan malam dua ekor kuda yang perlahan-lahan maju di sebelah lorong kecil menuju ke jalan raya, hatinya bagaikan melonjak. Kedua orang penunggang kuda itu adalah Raden Rudira dan Mandra.

Sejenak Ki Dipanala tidak dapat berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, kereta yang semula ditumpangi oleh orang asing itu sudah mulai bergerak meninggalkan tempatnya.

Sebelum Ki Dipanala berbuat sesuatu, maka ia mendengar Mandra berdesis, “Sekarang Raden”

Keduanya melecut kudanya, sehingga kuda itu pun segera meloncat berlari menuju ke kereta yang masih berhenti di pinggir jalan

Sebuah desir yang tajam bagaikan membelah jantung Ki Dipanala. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Karena itu. di luar sadarnya ia pun bergeser menepi, sehingga meskipun dari kejauhan, ia dapat menyaksikan apa yang terjadi dalam keremangan malam.

“O” Ia berdesah, “kudaku tertambat agak jauh”

Dipanala berdiri saja mematung. Dengan demikian ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia berlari ke kudanya, maka yang akan terjadi pasti sudah terjadi.

Ki Dipanala terkejut ketika sejenak kemudian ia mendengar seseorang berteriak, “Kubunuh kau bule”

Tetapi suara itu bukan suara Raden Rudira. Suara itu adalah suara Mandra.

Pada saat itu, kereta yang ditumpangi oleh Raden Ayu Galihwarit dan perwira kumpeni itu sudah siap untuk berangkat. Tetapi suara Mandra itu bagaikan memberi aba-aba kepada perwira kumpeni itu untuk bertindak. Dengan tangkasnya ia menyambar sesuatu sebelum tangannya mendorong pintu keretanya. Ketika pintu itu terbuka, ia pun segera meloncat turun.

Sesaat kemudian terdengar sebuah ledakan memekakkan telinga. Ledakan yang serasa meretakkan dada Ki Dipanala. Ia tahu benar, suara apakah yang telah merobek sepinya malam itu. Dan hampir berbareng dengan itu, seorang dari kedua penunggang kuda yang ingin menyerang perwira kumpeni itu pun terlempar dari kudanya dan jatuh di jalan berbatu-batu.

Sementara itu, selagi orang yang terjatuh itu menggeliat, maka kuda yang lain pun berlari kencang sekali dan hilang membelok ke dalam sebuah lorong sempit

Ki Dipanala mengetahui, bahwa untuk meledakkan senjata itu untuk kedua kalinya diperlukan waktu. Karena itu hampir saja ia meloncat menyerang. Tetapi sekali lagi hatinya telah diterkam oleh keragu-raguan. Ia mengetahui bahwa yang terlempar itu justru adalah Raden Rudira yang berpacu di depan.

Selagi Ki Dipanala ragu-ragu, maka terdengar kereta yang ditumpangi oleh perwira kumpeni dan Raden Ayu Galihwarit itu mulai berderak, dan roda-rodanya pun mulai berputar pula.

Dalam pada itu, di dalam kereta yang sudah mulai bergerak itu, Raden Ayu Galihwarit menggigil ketakutan mendengar bunyi ledakan senjata perwira kumpeni itu. Namun sambil tersenyum perwira asing itu berkata dalam bahasa yang patah-patah, “Tidak ada apa-apa”

“Siapakah yang tuan tembak itu?”

Perwira itu tertawa, “Seorang perampok. Mereka ingin merampok aku. Memang ada orang-orang Surakarta yang tidak senang melihat kehadiran kami, betapapun baik maksud dan tujuan kami”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah mereka tidak akan menyerang kita lagi nanti?”

“Tentu tidak berani. Yang masih hidup itu tentu akan lari, karena ia tidak akan dapat melawan senjataku. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak mau ditolong hidupnya untuk mengetahui kemajuan dunia. Pandangan mereka terlampau sempit dan sombong. Jika sekali-sekali mereka melihat negeriku dan negeri-negeri tetangga, barulah mereka sadar, bahwa mereka sudah ketinggalan untuk lebih dari satu abad lamanya.

Raden Ayu Galihwarit tidak begitu mengerti maksud perwira asing itu. Namun ia pun menjadi agak tenteram, karena perwira itu memang memiliki senjata sedahsyat petir.

Dengan demikian Raden Ayu Galihwarit mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia harus berbuat sebaik-baiknya terhadap perwira kumpeni itu dan ia akan segera kembali ke istana Ranakusuman sebelum Pangeran Ranakusuma datang dari istana Susuhunan.

Selagi kereta itu berderik di sepanjang jalan, maka Ki Dipanala berdiri membeku Di tempatnya. Namun ia tidak sampai hati untuk tidak berbuat sesuatu, karena dari kejauhan ia yakin bahwa sebenarnya Raden Rudira masih belum benar-benar terbunuh.

Setelah melalui pergolakan perasaan yang riuh, akhirnya Ki Dipanala melangkah setapak demi setapak mendekati. Tetapi ia pun segera meloncat ke samping dan hilang di balik dedaunan ketika ia mendengar seekor kuda berderap mendekat. Dan Ki Dipanala yakin, bahwa orang berkuda itu pasti Mandra.

“Ia akan dapat segera menolongnya. Agaknya masih ada harapan bagi Raden Rudira” berkata Ki Dipanala di dalam hati.

Sejenak kemudian maka seekor kuda berhenti beberapa langkah di samping tubuh Raden Rudira yang tergolek di tanah. Namun setiap kali anak muda itu masih mencoba untuk bangkit, meskipun ternyata ia sudah tidak mampu lagi.

Ketika ia melihat Mandra berdiri tegak di sampingnya, maka terdengar suaranya lemah, “Mandra. Mandra. Tolong bawa aku pulang. Aku ingin berbicara dengan ayahanda”

Tetapi Mandra masih tetap berdiri Di tempatnya.

“Mandra. Mandra” nafas Raden Rudira menjadi semakin terengah-engah.

Namun yang terdengar adalah suara tertawa yang berkepanjangan. Ternyata suara tertawa itu telah mengejutkan Raden Rudira, sehingga ia pun tersentak sejenak. Kepalanya terangkat dan untuk beberapa lamanya ia bersandar pada siku tangannya. Tetapi tidak terlalu lama, karena kemudian kepalanya itu dengan lemahnya perlahan-lahan terkulai lagi di tanah.

Namun terdengar suaranya lemah, “Kenapa kau tertawa? Aku terluka. Meskipun peluru bangsat itu hanya mengenai pundakku, tetapi aku terbanting dari kuda. Punggungku terasa seakan-akan patah dan darah masih saja mengalir”

Suara tertawa Mandra menjadi semakin keras. Namun sejenak kemudian suara itu mereda, “Raden. Aku hanya ingin menimbulkan kesan kepada orang-orang yang tinggal tidak begitu jauh dari tempat ini. Mereka tentu mendengar ledakan senjata orang asing itu. Mereka tentu menyangka terjadi sesuatu. Tetapi jika mereka mendengar suara tertawa, maka mereka tentu akan berpikir lain”

“O” suara Raden Rudira menjadi semakin lemah, “sekarang tolonglah aku, bawa aku pulang. Aku akan berbicara dengan ayahanda. Ayahanda harus tahu apa yang telah terjadi”

Tetapi aneh sekali. Ki Dipanala yang mendengar pembicaraan itu dari balik gerumbul di pinggir jalan pun menjadi bingung ketika ia mendengar Mandra tertawa pula.

“Mandra” desak Raden Rudira, “Jangan tunggu aku mati di sini”

Dan yang benar-benar mengejutkan adalah jawaban Mandra, “Apakah salahnya?”

“Mandra” sekali lagi Raden Rudira tersentak kali lagi ia tergolek dengan lemahnya.

“Yang terjadi adalah di luar kekuasaanku Raden”

“Tetapi, kau dapat berusaha”

“Terlambat”

“Kenapa terlambat?”

Mandra tidak menjawab. Tetapi suara tertawanya masih terdengar.

“Mandra, Mandra. Apakah kau sudah gila” desis Rudira.

“Tidak, tidak Raden. Aku masih tetap sadar. Dan aku pun menyadari kegagalan ini”

“Kenapa bisa gagal Mandra? Kau mengatakan bahwa semuanya sudah kau atur sebaik-baiknya. Kau sudah berbicara dengan sais kereta itu. Dan kau katakan bahwa orang asing itu tidak akan membawa senjata di dalam keretanya, apalagi kereta yang satu itu”

Ketika kemudian Mandra tertawa, Raden Rudira menjadi curiga. Juga Ki Dipanala menjadi curiga.

“Raden” berkata Mandra, “nasib Raden memang terlampau jelek. Seharusnya orang itu tidak bersenjata dan seharusnya sais itu menahan keretanya”

“Tetapi kenapa tidak”

Suara tertawa Mandra semakin menyakitkan hati. Bahkan kemudian ia berkata, “Sudahlah Raden. Ikhlaskan saja kematian Raden. Raden memang bernasib jelek hari ini”

“Mandra, kau benar-benar gila”

“Aku tidak gila”

“Katakan, kenapa kau berbuat seperti orang gila jika kau masih tetap sadar?”

“Baiklah Raden. Di saat terakhir sebelum Raden benar-benar mati aku akan mengatakannya” Mandra berhenti sejenak oleh suara tertawanya, “Aku tidak dapat mencegah bahwa hal ini harus terjadi. Jika sais kereta itu berbuat sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa penumpangnya, maka hadiahnya terlampau banyak. Terlampau banyak untuk ditolak. Itulah yang menarik perhatianku Raden. Dan aku akan mendapat separo dari hadiah itu”

“O” Rudira benar-benar terkejut mendengarnya. Bahkan jantung Dipanala pun bagaikan melonjak mendengarnya. Hampir saja ia berteriak. Tetapi ia pun masih berhasil menahan diri. Bahkan ia tidak dapat menolak ketika sebuah ingatan menyambar hatinya.

“Keduanya telah berusaha membunuh aku. Aku tidak berkepentingan apapun atas keduanya. Jika aku melihat yang terjadi biarlah itu sebagai suatu pengalaman saja bagiku”

Dalam pada itu ia mendengar Raden Rudira berkata dengan suara bergetar, “Pengkhianat. Pengkhianat”

Tetapi Mandra tertawa saja.

“Mandra, apakah aku tidak pernah memberimu sesuatu? Apakah aku tidak pernah memberimu hadiah dan upah yang cukup?”

“Memang cukup Raden. Menurut ukuran orang berkulit coklat seperti kita. Tetapi ternyata orang-orang berkulit putih itu memberikan upah terlalu banyak. Apalagi sais yang mencium rencana pembunuhan itu. Ia dapat mengarang ceritera, alasan apakah yang dipergunakan oleh pembunuh yang mengintai. Iri, dengki, pemberontak, dan apa saja. Sebelum hal ini terjadi, sais itu sudah mendapat kepercayaan. Apalagi setelah ia berhasil menyelamatkan tuannya dan Raden Ayu Galihwarit”

“Diam, diam” Raden Rudira masih ingin berteriak. Tetapi suaranya sudah sangat lemah.

“Anak yang malang. Di saat terakhir kau telah mengalami bencana ganda. Kau telah dikhianati oleh kepercayaanmu, dan kau harus melihat kenyataan bahwa ibumu bukan orang yang sebersih kapas”

“O”

Mandra masih tertawa. Katanya, “Aku selalu ingat kepada nasib Sura. Seorang penjilat besar. Mungkin lebih besar dari aku. Jika pada suatu saat tidak diperlukan lagi, maka ia akan dilempar jauh-jauh, bahkan mungkin dibunuh seperti Dipanala. Tetapi agaknya nyawa Dipanala masih cukup liat” Mandra berhenti sejenak, lalu, “ingatan itu selalu menghantui aku. Dan terbayanglah nasibku sendiri jika aku tetap menjadi budak Raden yang setiap hari harus menjilat. Akhirnya aku jemu. Ketika sais sahabatku itu menawarkan pekerjaan yang lebih baik, dan sekaligus upah yang menggelarkan jantung, maka aku mengambil keputusan untuk berkhianat sekarang, sekaligus menghilangkan jejak. Memang licik sekali”

Raden Rudira menggeram. Terdengar suaranya bergetar oleh perasaan sakit dan terlebih-lebih sakit lagi adalah hatinya, “Kau tidak ubahnya seperti anjing”

Mandra justru tertawa. Katanya, “Raden benar. Aku memang tidak ubahnya seperti anjing. Jika ada orang lain yang melemparkan tulang lebih besar, aku akan lari kepadanya. Bahkan sekaligus aku akan menggigit tuanku yang terdahulu. Jangan menyesal bahwa tuan sudah memelihara anjing. Dan anjing seperti aku dan Sura pasti masih akan berkeliaran”

“Gila, gila. Kubunuh kau”

Mandra tertawa semakin keras. Katanya kemudian, “Sudahlah. Nikmatilah kepedihan hati yang terakhir. Pengkhianatan dan pelanggaran pagar ayu. Sejenak lagi aku harus kembali ke Ranakusuman. Berpura-pura mencari kau Raden, dan kemudian menangis sehari-harian karena kau tidak dapat diketemukan. Sesudah itu, agar aku tidak terlalu bersedih, aku akan meninggalkan Ranakusuman Di rumah itu aku akan selalu teringat kepada momonganku, karena aku adalah seorang abdi yang setia. Begitu?”

“Gila, gila sekali. O” Raden Rudira menjadi semakin lemah.

“Tetapi Raden, aku masih akan berbuat baik sekali lagi. Aku akan mempercepat penderitaan Raden, kemudian membuang Raden Di tempat yang terasing, begitu? Dan apakah Raden tahu tempat yang terasing itu? Di jalan menuju ke Jati Aking. Aku akan menyobek luka peluru itu. sehingga tepat seperti luka pedang” Mandra berhenti sejenak, lalu, “setuju?”

“O” Raden Rudira sudah kehilangan tenaganya.

“Jika mayat Raden diketemukan, maka aku akan menangisinya sekali lagi, dan dengan menyesal meratap kenapa Raden pergi sendiri, tanpa aku. Tentu aku akan menyebar desas-desus bahwa telah terjadi pertengkaran antara Raden dan Raden Juwiring ketika Raden Juwiring akan memasuki kota. Kemudian kalian berkelahi dan saling mengejar di luar pengetahuanku karena aku sedang pulang ke rumahku beberapa lama. O, alangkah mudahnya membuat ceritera semacam itu. Mungkin ceritera lain yang lebih menarik”

Rudira sama sekali tidak menjawab lagi. Tubuhnya sudah menjadi terlalu lemah oleh darah yang mengalir dan hati yang meronta-ronta. Alangkah pedihnya.

“Baiklah Raden. Aku kira sudah cukup. Apakah Raden masih akan bertanya lagi?”

Rudira sama sekali tidak menjawab.

“Bagus. Sekarang aku akan mempercepat kematian Raden. Sayang, peluru itu hanya mengenai pundak Raden, sehingga Raden tidak segera mati. Jika Raden cepat mati, Raden tidak akan mendengar pengakuanku yang menyakitkan hati dan mendengar kenyataan tentang ibunda yang cantik dan tetap muda itu”

Rudira yang menjadi putus-asa itu sama sekali tidak menyahut lagi. Dalam saat yang menggetarkan jantung itu masih sempat diingatnya lamat-lamat, apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang pernah dilakukan. Dalam keremangan malam yang sepi di jalur jalan kota itu ia masih melihat bayangan Mandra yang berdiri tegak di sisi tubuhnya yang lemah. Sejenak kemudian ia melihat Mandra itu menarik pedangnya sambil tertawa.

Ki Dipanala masih bersembunyi Di tempatnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak ikut campur di dalam persoalan antara Mandra dan Raden Rudira.

“Aku tidak mau terlibat lagi. Sudah cukup parah bagiku” katanya di dalam hati.

Dari tempatnya ia melihat Mandra itu menyentuh Raden Rudira dengan kakinya sambil berkata, “Bersiaplah untuk mati. Ini adalah kebaikan hatiku yang terakhir untuk segera mengakhiri penderitaan Raden. Penderitaan lahir dan batin. Mungkin di saat menjelang mati orang-orang berdosa seperti kita memang akan mengalami penderitaan lahir dan batin seperti Raden ini. Tetapi jangan menyesal setelah semuanya terlambat”

Perlahan-lahan Mandra mengangkat pedangnya siap untuk menusuk dada Raden Rudira yang terbaring dengan lemahnya.

“Jangan mengumpat. Dosamu akan bertambah” desis Mandra sambil tertawa.

Namun ketika pedang Mandra itu perlahan-lahan mulai bergerak, ternyata sesuatu yang tidak dimengerti sama sekali oleh Ki Dipanala, telah mendorongnya tanpa dapat dilawannya. Kata hati nuraninya ternyata jauh lebih kuat dari nalarnya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat dari gerumbul di pinggir jalan itu.

Mandra yang sudah siap untuk membunuh itu terkejut bukan buatan. Sejenak ia berdiri mematung, namun kemudian dengan cepat ia menginjak dada Rudira sambil melekatkan ujung pedangnya di dada itu pula. Katanya, “Kau Dipanala. Apa yang akan kau lakukan?”

Dipanala termangu-mangu sejenak. Pedang itu akan dapat segera menghunjam di dada Raden Rudira. Karena itu, ia tidak boleh berbuat dengan tergesa-gesa.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba semua ingatan tentang usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Raden Rudira itu tersisih oleh kata nuraninya yang sebenarnya. Dengan demikian maka ia pun kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan anak muda yang malang itu.

“Dipanala” geram Mandra kemudian, “Kenapa kau di sini?”

Dipanala termenung sejenak. Lalu jawabnya, “Kebetulan saja Mandra. Setiap kali dengan kebetulan aku melihat rahasia yang besar tentang keluarga Ranakusuman, sehingga hampir saja aku terbunuh agar aku tidak menyebarkan rahasia itu”

“Lalu sekarang kau mau apa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat Raden Rudira mati”

Bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Alhamdulillah selesai jilid 9, menunggu jilid berikutnya.
    Matur nuwun…..

Tinggalkan komentar